skip to main |
skip to sidebar
Konsepsi Islam
Konsepsi Islam dalam masalah perkawinan mendobrak tradisi
tradisional mengenai perkawinan.Anak dalam Islam tidaklah
dipandang sebagai hak milik orang tua melainkan sebagai seorang
individu yang bebas merdeka untuk memilih kehendaknya sendiri.
Kedudukan orang tua dipandang hanya sebatas untuk menjaga ,
mendidik dan merawat anak-anaknya sampai mereka dewasa
dan memiliki kemampuan untuk memilih jalannya sendiri.
Karena itulah konsepsi Islam mengenai pernikahan adalah harus
didasari oleh kehendak dan persetujuan bersama kedua belah pihak
yang hendak menikah dan bila kedua pasangan telah bersepakat
maka siapapun tidak boleh menghalangi kehendak mereka termasuk
wali dan orang tua .Bahkan penolakan orang tua atau wali untuk
menikahkan anaknya dengan calon pilihannya sendiri dianggap sebagi
tindakan yang melawan aturan agama sebagaimana yang difirmankan
Allah dalam surah Al Baqarah ayat 232 "... maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya".
Ayat ini yang menjadi landasan para fuqaha untuk melarang perkawinan
paksa bahkan menjadi landasan bahwa negara berkewajiban untuk
mengambil alih menjadi wali nikah dengan meninjuk wali hakim bila
wali nasabnya enggan atau menolak menikahkan mereka.Dalam konsepsi
islam menikahkan adalah kewajiban bagi wali bukan hak jadi bila wali
nasab menolak maka kewajiban itu harus diambil alih oleh negara.
Penolakan wali nasab hanya bisa diterima apabila alasannya sah menurut
syari'at islam diantaranya , calonnya gila , tidak beragama islam ,
diketahui
masyarakat buruk perangainya (suka melanggar pantangan agama seperti
mabuk-mabukkan , judi , berzina dll) , dan masih dibawah umur.Di luar
alasan itu maka penolakan wali nasab tidak bisa diterima dan anak juga
tidak dipandang durhaka kepada orang tua karena hal ini sebab dalam
islam perkawinan itu hukumnya adalah wajib sehingga penolakan orang
tua untuk menikahkan anaknya justru yang dianggap sebagai perlawanan
terhadap hukum agama sehingga dianggap melakukan dosa.
Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk menciptakan keluarga yang
sakinah , mawaddah warrahmah sebagai landasan bagi pondasi masyarakat
yang islami.Dan untuk mewujudkan ini maka sangat diperlukan kehendak
kedua belah pihak yang hendak menikah secara merdeka karena merekalah
yang akan menjalani hari-hari dalam perkawinan tersebut.Dan untuk
mencapai
tujuan ini maka cinta dan kasih sayang yang merupakan sebuah anugrah
dari
Allah yang terindah dan terjalin antara kedua belah pihak adalah
pondasi
yang paling kuat bagi mereka sebagaimana yang difirmankan Allah dalam
Al Qur'an :
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri , supaya kamu cenderung dan merasa
tentram
kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih
sayang .Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir " (Ar Rum ayat 21)
Penentuan Kehendak Nikah
Penentuan kehendak nikah dilakukan secara langsung pada yang
bersangkutan persetujuan dari laki-laki dan janda harus secara
lisan sementara anak gadis maka diamnya berarti setuju sementara
penolakannya harus diutarakan secara lisan berdasarkan hadis nabi
"Sesungguhnya Nabi Muhammad s.a.w berkata : seorang janda tidak
boleh dikawinkan tanpa diajak dahulu bermusyawarah dan seorang gadis
tidak boleh dikawinkan tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu,
orang-orang kemudian bertanya "Ya Rasululullah bagaimana kami
mengetahui bahwa ia memberi izin" Beliau menjawab " diamnya
perempuan menunjukkan persetujuannya" (HR Bukhari)
Dari hadis ini bisa dilihat bahwa izin persetujuan menikah bukanlah
hak
orang tua melainkan hak kedua belah calon pasangan.Orang tua hanya
diperbolehkan mengajukan dan menawarkan calon pilihannya atau juga
menyampaikan pinangan seseorang kepada anaknya sementara hak
untuk memberi keputusan menolak ataupun menerima calon atau
pinangan itu merupakan hak mutlak anak yang tidak boleh diganggu
gugat.Kalaupun orang tua tetap memaksa anak perempuannya menikah
maka negara berhak dan wajib untuk menolak untuk mensahkannya.
Masalah Hak Ijbar
Hak ijbar adalah hak untuk menikahkan paksa seorang anak perempuan
yang masih berusia di bawah umur dan belum mampu menentukan pilihannya
sendiri oleh wali sang anak (ayah atau kakek). Dalil umum yang dipakai
dalam penetapan hak ijbar ini adalah kasus pernikahan antara
Rasulullah
s.a.w dengan Siti Asiyah yang waktu itu masih berusia 9 tahun dan
sebuah
hadis yang memerintahkan untuk menyegerakan pernikahan anak perempuan.
Imam Syafi'i sendiri menentapkan sejumlah aturan atau rambu-rambu
mengenai hal ini , antara lain :
a. Wali yang berhak melakukan ijbar (wali mujbir) hanya ayah atau
kakeknya
b. Anak yang diijbarkan masih gadis dan belum cukup dewasa untuk
menentukan
pilihannya sendiri
c. Calon suami yang dipilihkan harus sekufu (sederajat) dalam bidang
pendidikan , sosial , ekonomi atau keturunan.
d. Mahar yang diberikan oleh calon suami harus mahar mitsil
e. Pria yang dipilih harus pria baik-baik dan mampu memenuhi kewajiban
nafkah.
Akan tetapi hak ijbar ini dalam mazhab syafi'i pun tidak boleh
diterapkan
pada anak perempuan yang sudah dewasa, hanya pada anak yang belum
baligh.Hakijbar ini sendiri pada dasarnya hanyalah sebuah pemikiran
fiqh
pribadi dari Imam Syafi'i bukanlah sebuah aturan agama yang baku
karena
aturan ini tidak dilandasi oleh nash sehingga tidak ada kewajiban
untuk
mengikutinya apalagi dengan kondisi masyarakat modern dimana usia
pernikahan lebih tinggi , konsep ijbar ini dengan sendirinya tertolak
dengan
dimasukkannya masalah perkawinan anak di bawah umur sebagai tindakan
kriminal yang bisa dikenai hukuman di beberapa negara.
Akan tetapi di kalangan masyarakat tradisional seperti di Timur Tengah
konsep ijbar ini ternyata juga diberlakukan terhadap perempuan dewasa
bahkan ada tradisi "honor killing" yang menjadi horor bagi para
perempuan
di wilayah seperti Mesir (khususnya Selatan) , timur Tengah dan Asia
Selatan dimana seorang perempuan bisa dibunuh dengan dalih melanggar
aturan agama dan kehormatan keluarga bila menikah dengan calon yang
tidak dikehendaki keluarganya.Tapi pada dasarnya tindakan seperti ini
hanya perilaku ekstrim yang sama sekali tidak ada landasannya dalam
agama karena agama Islam justru menghormati sepenuhnya hak-hak
perempuan untuk memilih pasangannya sendiri.
Hukum Negara Republik Indonesia
Hukum Negara yang sah dan berlaku di negri ini dalam masalah
Perkawinan adalah mengacu pada UU no 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.UU ini sendiri sangat dipengaruhi oleh konsep hukum
perkawinan Islam dan khusus bagi penganut agama Islam aturan
perkawinannya juga diperluas dalam bentuk Kompilasi Hukum
Islam Indonesia yang didasari oleh Inpres no 1/1991 yang salah
satu bagiannya mengatur masalah perkawinan dan menjadi pedoman
bagi Pengadilan Agama untuk mengatur dan mengesahkan perkawinan
secara agama Islam.
Kehendak dan persetujuan kedua mempelai juga menjadi dasar
untuk menikah dalam UU no 1/1974 sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 6 ayat (1) UU no 1/1974 yang berbunyi "Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai".Karena
itu tidak ada satupun pihak termasuk orang tua kedua calon
mempelai yang boleh menolak perkawinan apabila kedua calon
itu sendiri sudah setuju.Dan bila tidak didasari persetujuan dari
salah satu atau kedua calon mempelai maka negara juga wajib
menolak menikahkannya.
Hak negara untuk mengambil alih wali nasab yang enggan melaksanakan
kewajibannya dan bertindak sebagai wali hakim dimuat dalam
Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 22 ayat (2) yang berbunyi
"Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut".
Sehingga bila wali nasab enggan menikahkan ia harus mampu memberikan
alasan-alasannya pada Pengadilan Agama.Bila ia tidak mampu memberikan
alasan-alasan yang sah berdasarkan agama dan UU maka haknya akan
diambil
alih oleh negara.Alasan yang bisa diterima oleh pengadilan hanyalah
apabila
sang calon tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang
ditetapkan UU perkawinan misal di bawah umur , tidak dapat izin istri
pertama (dalam perkawian poligami) , sang calon berada pengampuan
atau hukuman atau masih terikat pada perkawinan lain (khusus
perempuan)
sebagaimana yang termuat dalam UU perkawinan no 1/1974 pasal 13 ,
14 dan 15, selain juga alasan yang sah menurut pertimbangan agama
seperti gila atau idiot , tidak beragama Islam , masih di bawah umur
dll
sementara alasan latar belakang atau tingkat pendidikan , kondisi
sosial
dan ekonomi , keturunan dll tidak dianggap sebagai sebuah alasan yang
dapat diterima.
Akan tetapi izin orang tua berlaku mutlak apabila kedua atau salah
satu pasangan dianggap belum cukup umur untuk menentukan pilihannya
sendiri dimana dalam hal ini negara menetapkan batasan umur 21 tahun
sebagaimana termuat dalam pasal 6 ayat (2) UU no 1/1974 dan Kompilasi
Hukum Islam Indonesia pasal 15 ayat (2).
Dari sini juga kita bisa lihat bahwa konsepsi hukum pernikahan negara
Republik Indonesia juga pada dasarnya sejalan dengan nafas hukum
agama Islam dengan memberikan hak dan kewenangan mutlak terhadap
kehendak nikah kepada kedua calon pasangan secara merdeka.Sehingga
penolakan ataupun pemaksaan nikah oleh orang tua pasangan atau salah
satu pasangan tidak dianggap sebagai penghalang bagi kehendak nikah
bahkan negara dianggap bertanggung jawab penuh untuk menikahkan
mereka dengan atau tanpa persetujuan orang tua.Cinta dan rasa kasih
sayang adalah anugrah terindah yang Allah berikan pada manusia
sehingga
bila ada seseorang yang menolaknya maka ia sama saja dengan menolak
rahmat Allah.
0 komentar:
Posting Komentar