Surat Laut 4
Aku yang malam dan aku yang siang bertemu di suatu senja kuning. aku yang malam berkata lirih seperti berbisik sedih;
“Aku tak hendak membunuhmu dengan menarik bentang malam, aku sangat mencintaimu,” ucap aku yang malam pada aku yang siang sembari menatap cakrawala kuning kunyit di mata mega
“Aku mengerti, biar kau genapi balutan waktu yang setia menetes kala senja remang seperti ini, aku mengerti, sebab aku juga teramat mencintaimu,” jawab aku yang siang dengan merapatkan cadik ke tepi

Lantas kami saling berpelukan. yang satu memimpikan pekat yang satu memimpikan benderang. ikan-ikan berenang-renang di dasar lautan. tak ada yang mengerti bahwa dari musim ke musim, lautan selalu menyaksikan aku yang malam dan aku yang siang membagi pengertian dan kesementaraan
Maka, aku yang malam lantas menjadi lembaran hitam di langit dan aku yang siang menjadi ikan yang berenang di dasar lautan menuju ke timur, kembali untuk nantinya kami bertemu mengamini waktu
[Sedayu, 2009 ]

Perbedaan adalah keniscayaan; menjadi beda bukan berarti diferensiasi yang diciptakan untuk menyatakan diri. Sebagaimana identitas diyakini sebagai jatidiri, identifikasi terhadap kehakikian atau hakekat diri yang esensial sifatnya. Oleh sebab wacana bahwa diri merupakan konstruksi atau reaksi atas keberadaan yang lain, maka diri dinilai sebagai subjek yang tak otentik dan tak mungkin menemukan kemurniannya. Otensitas adalah imaji belaka, hanya angan yang tak mungkin digeser dari dunia imaji dan simbolik ke dunia real.
Pemahaman ini sekaligus mengarahkan pada pesimisme dalam pembentukan diri. Hal yang berbeda dengan penemuan jatidiri yang mesti diyakini pencapaiannya dengan optimis, kedewasaan misalnya meskipun sebelumnya bakal melalui tahap kekanak-kanakan atau kenakalan; meski sulit letih bakal dihadapi dan kemungkinan yang terburuk sekalipun bisa terjadi, tetapi harapan dan cita-cita tak boleh berhenti. Imaji harus terus dijaga, kesadaran perlu direalisasikan, dan sekaligus mimpi dipertahankan. Meskipun dalam hidup mengandung ironi, paradoks dan ambivalensi, pemahaman nilai tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dalam tulisan ini saya sekadar membaca sajak Ahmad Kekal Hamdani yang berjudul “Surat Laut 4”. Sajak ini, seperti diakuinya dalam buku Antologi Rembulan di Taman Kabaret, ditulis pada tahun 2009 ketika mengantarkan jenazah seorang kawannya. Perjalanan yang melintasi laut menuju pulau Bawean, di pelabuhan Sedayu, ia merenung kehidupan yang malam dan yang siang hanya waktu, dan di waktu nanti kita akan bertemu lagi. Seperti sangkan paraning dumadi, kata orang Jawa. Bagaimanapun tingkah polah dalam hidup, baik atau buruk perilakunya pasti akan kembali kepada yang ilahi. Semacam keyakinan pada yang mitis, yang ideal, keimanan etis yang merujuk pada dumadi; hidup bakal diserahkan atau dikembalikan pada yang abadi. Bagaimana dengan hidup yang meruang dan mewaktu ini?
Dalam sajak ini pengarang seperti memimpikan dunia tanpa retak, tanpa tikungan dan kebencian, sebagai sisi lain dari diri manusia yang penuh kasih sayang. Idealisasi yang ditulis pengarang sepertinya mustahil dalam dunia riil, meskipun bisa saja bahwa ini hanya kerinduan barangkali atau suatu bentuk ungkapan kekecewaan atas kekacauan dikotomik. Pertama-tama kita simak perbedaan di dalam tubuh aku lirik. Aku yang malam digariskan pada pekat, bentangan malam dan lembaran hitam; sementara yang siang dirumpunkan secara konvensional dengan benderang. Pembedaan ini oleh pengarang dipertemukan dalam diri ‘aku’.
Nah, menariknya tempat pertemuan itu adalah waktu, yang berarti adalah dirinya sendiri—sebab malam dan siang merupakan bagian dari tubuh waktu. Selain aku yang mewaktu—siang dan malam—dituliskan subjek lain: lautan. Maka, lautan semacam orang lain yang meyaksikan polah aku yang dua itu. Satu lagi selain ‘bertemu’ dan ‘cinta’ menjadi gerak lintas yang menghubungkan aku yang siang dan aku yang malam, dituliskan pula mereka ‘membagi’ pengertian dan kesementaraan, yang bisa jadi kesamaan atau saling pengertian berarti pula kesementaraan.
Dengan demikian, pengarang seperti tak mengungkapkan adanya kenyataan, bahwa dalam kehidupan tak hanya ada cinta, kesetiaan, kedamaian, keindahan, kenyamanan, dan seterusnya, tetapi kekejaman, pembunuhan, tragedi, kemiskinan, kematian, dan sejenisnya pun merupakan kenyataan dalam hidup. Meskipun dalam aku lirik seakan-akan diungkapkan perbedaan, tetapi kemudian hanya sementara, perbedaan kemudian ditenggelamkan dalam aku lirik yang mengamini waktu; meskipun seakan-akan ada dikotomi tapi sebenarnya keakuan yang tunggal, subjektivitas yang kuat dalam waktu. Aku yang begitu damai tanpa penderitaan, aku yang bahagia sebab saling mengerti dan berbagi, aku yang saling mencintai. Maka, di sini pengarang telah mengandaikan adanya logos; bahwa kedamaian seperti yang pengarang idealkan sekaligus telah menjadikan kekacauan sebagai ‘yang lain’ atau kelainan: pembunuhan, kekerasan, perbedaan atau konflik, dan sejenisnya merupakan bukan kehidupan yang ideal.
Selanjutnya, di sini mewujud oposisi biner. Yang aku adalah yang pertama dan ‘yang lain’ menjadi oposisi selain aku; cinta damai lebih utama daripada konflik. Pandangan demikian tampak seperti jiwa-jiwa romantik, pengarang barangkali mengangankan adanya idealisasi kehidupan sebagaimana “aku mengerti, sebab aku juga teramat mencintaimu”; manusia diandaikan seperti aku yang mencintai kehidupan, dengan memahami perbedaan satu sama lain. Suatu kerinduan yang setia ditempuh dalam jalan kesunyian, jalan sebagai seorang penyair. Baginya menjadi hidup adalah pilihan, barangkali demikian.
Dikutip dari katafath.

1 komentar:

Sinau Terus mengatakan...

drung gaduk iki bahasane,,,,,

Posting Komentar

About