Surat Laut 4
Aku yang malam dan aku yang siang bertemu di suatu senja kuning. aku yang malam berkata lirih seperti berbisik sedih;
“Aku tak hendak membunuhmu dengan menarik bentang malam, aku
sangat mencintaimu,” ucap aku yang malam pada aku yang siang sembari
menatap cakrawala kuning kunyit di mata mega
“Aku mengerti, biar kau genapi balutan waktu yang setia menetes
kala senja remang seperti ini, aku mengerti, sebab aku juga teramat
mencintaimu,” jawab aku yang siang dengan merapatkan cadik ke tepi
Lantas kami saling berpelukan. yang satu memimpikan pekat yang
satu memimpikan benderang. ikan-ikan berenang-renang di dasar lautan.
tak ada yang mengerti bahwa dari musim ke musim, lautan selalu
menyaksikan aku yang malam dan aku yang siang membagi pengertian dan
kesementaraan
Maka, aku yang malam lantas menjadi lembaran hitam di langit dan
aku yang siang menjadi ikan yang berenang di dasar lautan menuju ke
timur, kembali untuk nantinya kami bertemu mengamini waktu
[Sedayu, 2009 ]
Dalam sajak ini pengarang seperti memimpikan dunia tanpa retak, tanpa tikungan dan kebencian, sebagai sisi lain dari diri manusia yang penuh kasih sayang. Idealisasi yang ditulis pengarang sepertinya mustahil dalam dunia riil, meskipun bisa saja bahwa ini hanya kerinduan barangkali atau suatu bentuk ungkapan kekecewaan atas kekacauan dikotomik. Pertama-tama kita simak perbedaan di dalam tubuh aku lirik. Aku yang malam digariskan pada pekat, bentangan malam dan lembaran hitam; sementara yang siang dirumpunkan secara konvensional dengan benderang. Pembedaan ini oleh pengarang dipertemukan dalam diri ‘aku’.
Nah, menariknya tempat pertemuan itu adalah waktu, yang berarti adalah dirinya sendiri—sebab malam dan siang merupakan bagian dari tubuh waktu. Selain aku yang mewaktu—siang dan malam—dituliskan subjek lain: lautan. Maka, lautan semacam orang lain yang meyaksikan polah aku yang dua itu. Satu lagi selain ‘bertemu’ dan ‘cinta’ menjadi gerak lintas yang menghubungkan aku yang siang dan aku yang malam, dituliskan pula mereka ‘membagi’ pengertian dan kesementaraan, yang bisa jadi kesamaan atau saling pengertian berarti pula kesementaraan.
Dengan demikian, pengarang seperti tak mengungkapkan adanya kenyataan, bahwa dalam kehidupan tak hanya ada cinta, kesetiaan, kedamaian, keindahan, kenyamanan, dan seterusnya, tetapi kekejaman, pembunuhan, tragedi, kemiskinan, kematian, dan sejenisnya pun merupakan kenyataan dalam hidup. Meskipun dalam aku lirik seakan-akan diungkapkan perbedaan, tetapi kemudian hanya sementara, perbedaan kemudian ditenggelamkan dalam aku lirik yang mengamini waktu; meskipun seakan-akan ada dikotomi tapi sebenarnya keakuan yang tunggal, subjektivitas yang kuat dalam waktu. Aku yang begitu damai tanpa penderitaan, aku yang bahagia sebab saling mengerti dan berbagi, aku yang saling mencintai. Maka, di sini pengarang telah mengandaikan adanya logos; bahwa kedamaian seperti yang pengarang idealkan sekaligus telah menjadikan kekacauan sebagai ‘yang lain’ atau kelainan: pembunuhan, kekerasan, perbedaan atau konflik, dan sejenisnya merupakan bukan kehidupan yang ideal.
Selanjutnya, di sini mewujud oposisi biner. Yang aku adalah yang pertama dan ‘yang lain’ menjadi oposisi selain aku; cinta damai lebih utama daripada konflik. Pandangan demikian tampak seperti jiwa-jiwa romantik, pengarang barangkali mengangankan adanya idealisasi kehidupan sebagaimana “aku mengerti, sebab aku juga teramat mencintaimu”; manusia diandaikan seperti aku yang mencintai kehidupan, dengan memahami perbedaan satu sama lain. Suatu kerinduan yang setia ditempuh dalam jalan kesunyian, jalan sebagai seorang penyair. Baginya menjadi hidup adalah pilihan, barangkali demikian.
Dikutip dari katafath.
1 komentar:
drung gaduk iki bahasane,,,,,
Posting Komentar