Tema “Penguatan Identitas Bangsa dalam Komunitas Global dan Multikultural”
Kata globalisasi atau "kesejagatan" dewasa ini menjadi kata sehari-hari yang diucapkan dimana-mana. Kata globalisasi tersebut menunjukkan gejala menyatunya kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa mengenal batas-batas fisik-geografik dan sosial. Ia dipicu dan dipacu oleh kemajuan pesat dalam bidang teknologi yang dikenal dengan istilah Triple "T" Revolution yaitu perkembangan kemajuan di sektor teknologi komunikasi informasi, transportasi dan trade (liberalisasi perdagangan).
Sebagai sebuah bangsa yang punya identitas unik, bagaimanakah posisi kita di tengah arus globalisasi? |
Agar negara bangsa Indonesia tidak tergilas dampak negatif globalisasi tersebut, berbagai transformasi yang membawa perubahan tidak dipandang sebagai "ancaman" (threat) tetapi haruslah dipandang sebagai suatu "peluang" (oportunity) untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memperkokoh diri kita sebagai bangsa, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Untuk itulah diperlukan ketahanan nasional yang tangguh bagi bangsa Indonesia di Era Globalisasi.
Kontak dengan budaya lain sudah merupakan suatu keharusan dan tidak dapat dielakkan karena hubungan komunikasi yang tidak mengenal batas-batas negara. Terjadilah relativisasi nilai budaya dan memungkinkan munculnya sinkritisme budaya yang sifatnya transnasional.
Itulah gelombang kehidupan "globalisasi" dengan segala eksesnya yang sedang merobek-robek kehidupan manusia. Dengan paradigma Pancasila kita menghadapinya dan oleh karena itu kita harus mempersiapkan diri agar tetap eksis sebagai suatu bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain untuk "hidup bersama" di dunia yang satu ini.
Bagaimana peran Pancasila dalam menguatkan identitas bangsa kita, di tengah “kepungan” komunitas global dan berbagai macam budaya tersebut? |
Globalisasi yang dipercepat dengan pertumbuhan luar biasa dari media massa melalui media telekomunikasi dianggap akan menghilangkan batas geografi suatu negara. Akibatnya nasionalisme akan kehilangan wujud aslinya dan berganti menjadi universalisme atau globalisme di mana orang akan menjadi warga dunia, bukan warga suatu negara yang batas-batasnya sudah jelas atau tertentu. Tetapi ada yang berpendapat bahwa negara tidak akan terhapus oleh globalisasi karena itu perbincangan mengenai nasionalisme tetap relevan. Hal ini mengingat bahwa :
1. manusia bukanlah sekedar mass product, tetapi mahkluk yang berakal, berperasaan dan berbudaya.
2. fitrah manusia sebagai mahkluk sosial yang bergolong-golong (primodial). Primodialisme akan meluas ke arah nasionalisme.
3. proses globalisasi tidak akan berjalan secara mekanistik dan pada akhirnya proses tersebut diciptakan dan dikendalikan oleh manusia.
Tantangan utama dalam mempertahankan nasionalisme tidak ditentukan semata-mata oleh tantangan dari luar, melainkan tantangan tersebut dapat berwujud upaya untuk menjaga citra bangsa dan negara agar selalu positif dan dengan demikian menjadi kebanggaan bagi seluruh warga negara. Belajar dari pengalaman pembangunan di negara-negara tetangga yang dapat menumbuhkan kebanggaan terhadap bangsa dan negara, maka harus ditumbuhkan etika kepemimpinan dan etika sosial yang berlandaskan kejujuran, kerja keras dan hemat dalam upaya menuju masyarakat Indonesia yang modern. Sebagaimana yang diwasiatkan oleh pendiri Republik ini. Soekarno, bahwa kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak pernah jatuh gratis dari langit, tetapi selalu merupakan kristalisasi keringat.
Sementara itu dalam era globalisasi sebagai suatu threat dan sekaligus oportunity yang harus diraih berpijak pada budaya bangsa. Sebagai bangsa Indonesia kita tidak boleh tercabut dari akar budaya bangsa yaitu Pancasila. Budaya Pancasila itulah yang menjadi jati diri bangsa Indonesia yang menentukan cara berpikir, cara bersikap dan cara berbuat, kita di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam menghadapi tantangan globalisasi. Isu globalisasi seperti demokratisasi, hak asasi manusia (human rights) dan lingkungan hidup harus dilihat dan dikaji bertitik tolak pada paradigma Pancasila.
Kebudayaan Indonesia merupakan proses pemanusiaan diri dalam bentuk keselarasan, keserasian dan keseimbangan hidup. Oleh para pemikir bangsa dirumuskan secara ringkas dan padat dalam Pancasila. Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, manusia Indonesia dengan kebudayaannya sebagai proses pemanusiaan dirinya dapat digambarkan menjadi sebuah "segitiga sama sisi" dengan puncaknya sebagai sila ke-1 (Ketuhanan Yang Maha Esa), sedangkan kedua sudut dasarnya sila ke-2 (Kemanusiaan yang adil dan berada) di sisi kiri, sila ke-3 (Persatuan Indonesia), sila ke-4 (Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan) dan sila ke-5 (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) di sisi kanan. Dalam pengertian 1 adalah Engkau yang abadi, sila kedua dikenal sebagai "Aku" manusia dalam konsep abstrak dan sila ke 3,4 dan 5 dikenal sebagai sosialitas manusia.
Sedangkan konsep manusia menurut ideologi Pancasila ialah manusia itu makhluk individu serentak makhluk sosial. Monodualisme ini adalah kodrati, tidak sekedar empirik. Secara kodrati manusia tidak mungkin hidup sendiri, manusia yang satu memerlukan manusia yang lain. Hakikat dari konsep manusia menurut Pancasila adalah "Saling tergantung antar manusia". Saling tergantung mempersyaratkan interaksi saling memberi antara manusia dalam masyarakat dan negara. Pandangan Pancasila serba integralistis. Segala sesuatu di alam semesta ini saling berkaitan satu dama lain.
Dalam kondisi ini muncul gagasan yang optimis yaitu hendaknya umat manusia membuat suatu "Kampung Global" (global village) tempat hidup manusia bersama-sama memecahkan masalahnya mengenai dunia yang makmur, damai dan sejahtera. Sejalan dengan itu pemerintahan global (global goverment) diutarakan, karena kekhawatiran umat manusia atas bumi yang memerlukan pemeliharaan agar pembangunan dapat berkesinambungan (sustainable development).
Sebagai bangsa Indonesia harus berpijak dan berpegang pada paradigma dan metode berpikir Pancasila di atas dalam menghadapi tantangan, meraih peluang dan menghancurkan ancaman yang mungkin timbul di era globalisasi ini.
Dengan paradigma dan cara berpikir Pancasila itu kita memilih mana yang tepat untuk bangsa Indonesia agar identitas dan integritas tetap lestari. Dengan paradigma dan cara berpikir Pancasila itu kita mengarungi era globalisasi itu, meraih segala peluang, untuk membangun bangsa agar kelangsungan hidup bangsa ini tetap terpelihara dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Dengan kata lainnya di era globalisasi ini kita harus siap menghadapinya dengan landasan dan cara berpikir Pancasila untuk meningkatkan ketahanan nasional Indonesia.
1 komentar:
Salam jumpa di transformasi budaya pancasila
Posting Komentar